Aku tinggal di perum Aa. Sebelumnya aku tinggal
sendirian di perum Ab. Tapi, aku akhirnya pindah bersama sahabatku yang selalu
bersedia menemani tidurku. Namanya Lia. Dia adalah sahabatku yang seperti ibuku
sendiri. Membersihkan rumah, memasakkanku makanan, dll. Tapi sahabatku tak
pernah merasa keberatan, malah selalu tersenyum saat aku bangun pagi. Dia selalu
mengucapkan selamat pagi dengan tepukan di pundak. Justru dia mungkin lebih
baik dari ibuku. Semenjak bercerai, orang tuaku pergi meninggalkanku dengan segepok
uang. Setelah itu tidak ada kabar maupun kiriman uang lagi. Mungkin itu salah
satu penyebab mengapa sahabatku begitu sayang padaku. Karena aku tidak punya
teman.
Dua hari berikutnya, sahabatku izin tidak bisa
menginap di rumahku karena ada acara keluarga yang sangat penting. Aku sempat
memaksanya tidak perlu datang. Tapi akhirnya aku luluh juga, mengingat dia
sudah sangat baik sekali kepadaku. Akhirnya aku membiarkan dia pergi dan
menyuruhnya cepat kembali ke sini. Akhirnya aku yang mengurus sesuatu tentang
rumah. Agak sulit memang, tapi yah, mau bagaimana lagi. Aku tidak menyukai
rumah berantakan.
Siang hari saat aku sedang menyapu halaman, aku
melihat ada orang pindahan. Rumahnya tepat di seberang rumahku. Aku melihat
sekilas orang itu termasuk remaja sepertiku. Kalau tidak salah, ada tiga orang.
Semuanya perempuan. Mungkin mereka satu kuliahan lalu menginap bersama agar
menghemat uang. Aku membiarkan semuanya berlalu lalu aku pergi ke dalam. Tiduran
sebentar menghilangkan rasa capek di badanku. Tiba-tiba, bel rumahku berbunyi..
Ting.. tong...
Siapa? Apa sahabatku? Tidak mungkin itu sahabatku. Sahabatku
baru saja pergi dengan alasan penting. Tidak mungkin dia kembali lagi. Saat kucoba
membukakan gagang pintu rumahku, aku melihat sesosok perempuan cantik dengan
rambutnya yang sangat panjang menyentuh punggungnya. Dia mengenakan baju putih
dan celana jeans pendek.
“Hai.. maaf mengganggumu. Aku tetangga barumu di
seberang. Kurasa kau sudah tau tadi saat kau menyapu halaman rumahmu. Kalau boleh,
aku ingin berteman denganmu. Bagaimana? Nanti kuajak makan malam. Kau tidak
perlu memasak makan malam.”
Suaranya begitu ramah. Tapi aku sedikit canggung,
aku sendiri belum mengenalnya dengan jelas. Perlu beberapa minggu untuk aku
beradaptasi dengan seseorang. Termasuk berkenalan. Tiba-tiba dia menjulurkan
tangannya.
“Vina Adelia. Kau bisa memanggilku Vina. Senang berkenalan
denganmu.” Dia mengeluarkan suara genit khas perempuan miliknya. Dari suaranya,
aku bisa menebak, dia orang yang ramah dan tidak berbahaya.
“Arum” jawabku singkat. Aku tidak ingin basa-basi. Karena
aku belum tau siapa dirinya. Aku takut kalau aku dijadikan umpan.
“Senang berkenalan denganmu Arum. Malam ini kau
harus datang ya! Jam 7 malam! Tak perlu memakai baju mewah. Kita hanya
bersebelahan. Aku sangat senang jika kau datang. Aku permisi dulu ya. Sampai bertemu
nanti malam!”
Perempuan itu langsung pamit pergi dan meninggalkan
rumahku. Sangat tidak sopan. Aku tidak suka orang yang tidak sopan.
Malam jam 7, aku mengenakan baju apa adanya. Baju rumah
dan celana jeans. Aku akan menghadiri rumahnya. Ingin melihat-lihat bagaimana
keadaan disana. Enak atau tidak. Kemudian aku mengetuk pintu rumahnya. Pintu coklat
berukir itu akhirnya terbuka.
“Hai Arum! Aku senang kau datang! Yuk kita langsung
saja ke meja makan! Hanya kamu saja yang kami undang. Tetangga yang lain
menolak. Masuk saja tak usah malu-malu!” aku tau kalau Vina pasti yang pertama
menyambutku. Lalu aku menuju meja makan. Melihat-lihat atap rumah dan seisinya.
Lumayan bagus juga. Terlintas dibenakku bahwa mereka pasti orang kaya.
Dua orang perempuan lainnya sedang tertawa keras. Satunya
memegang gelas dan satunya lagi memegang botol. Bir. Itu botol bir. Baunya tercium
sampai hidungku. Aku tidak menyukai orang yang tidak sopan. Aura benciku kepada
mereka semakin menguat. Aku mulai ragu apakah Vina orang yang ramah atau
mempunyai akal pembunuh?
Aku membuang jauh pikiran jelekku. Aku tidak mau
lagi kesepian.
“Hei teman-teman! Dasar! Mabuk saja pikiran kalian! Kalian
tidak sadar hah?! Kita kedatangan tamu! Sopanlah sedikit!!” bentak Vina tapi
suaranya sedikit lembut.
“Oh.. maafkan kami. Kami tidak sadar jika ada kau.” Kata
ke-2 orang itu pelan.
“Perkenalkan, dia Arum. Arum, mereka Kiki dan Putik.”
“Hai, senang berkenalan denganmu, Arum” kata mereka
satu persatu sambil bersalaman denganku.
“Nah, mari kita makan malam!” kata Kiki dengan
semangat.
Aku duduk di kursi bersebelahan dengan Vina. Kami mengobrol
banyak. Hanya saja aku tidak terlalu ceria. Mungkin aku hanya tertawa sedikit
saja. Hingga akhirnya, Putik menyodorkanku sebotol minuman.
“Hei Arum? Minumlah ini. Ini enak lho! Kau harus
mencicipinya sedikit dulu.” Kata putik sembari menyodorkan botol bir kepadaku. Aku
jijik melihatnya. Tidak betah. Aku ingin pulang, tetapi mereka seperti
mengekangku. Mereka memaksaku bahwa aku harus minum bir dulu! Sudah kubilang, aku
tidak suka orang yang tidak sopan! Kenapa mereka memaksaku?
“Tidak, terima kasih.” Jawabku sopan dan tegas. “Maaf,
aku bukan pemabuk. Aku di didik menjadi orang yang sopan. Maaf.” Kataku sambil
menyudutkan hati mereka. Tak kupedulikan wajah mereka yang hampir tidak
menyukaiku karena aku sudah mengatai mereka.
“Hei Arum, mau coba? Ini tidak yang seperti kau bayangkan.
Alkoholnya hanya 10%. Kami sengaja menyiapkannya untukmu. Minumlah sebagai rasa
hormat dari kami karena kau sudah bersedia untuk datang makan malam.” Kata Vina
menyikutku. Aku salah. Tak seharusnya aku menilai Vina itu orang yang sopan. Ternyata
dia juga sama tidak sopannya dengan teman-teman.
“TIDAK! AKU TIDAK MAU! AKU AKAN PINDAH DARI
PERUMAHAN INI! AKU AKAN MELAPORKAN KALIAN KE POLISI! KALIAN PEMABUK DAN
PELACUR!” suaraku tercekat di tenggorokan. Aku tak terbiasa berteriak keras
pada seseorang. Aku pantas membicarakan hal tersebut pada mereka. Mereka terlihat
baik, tapi ternyata pemabuk. Sama saja pelacur! Aku tidak tahan dengan orang
yang tidak sopan! Karena merasa keadaanku terancam, aku mencari pintu keluar
tapi aku malah tersesat ke arah dapur. Kemudian aku kembali ke tempat semula
untuk mencari pintu keluar, tiba-tiba aku melihat mereka sudah bersimbah darah.
Darah segar masih memancar dari perut masing-masing. Aku tidak tahan, lalu
akhirnya, semua menjadi gelap. Amat gelap.
Saat aku terbangun, aku kaget mendapati diriku
terbaring di tempat tidur. Ini siang hari! Apakah ini mimpi? Apakah benar ada
tetangga baru? Apakah benar mereka dibunuh? Dibunuh oleh siapa? Tak sadar
ternyata tubuhku penuh dengan keringat dingin. Keringatku semakin mendingin
kala melihat bajuku bersimbah darah. Cepat-cepat aku mencucinya lalu
membakarnya. Aku memakai baju baruku dengan terburu-buru.
Ting.. tong..
Hah? Siapa itu? Apa ini time machine? Jangan-jangan itu adalah tetangga baru? Dengan segera
aku membukakan pintu kayu rumahku. Terlihat sahabatku berdiri di depan pintu
dengan senyum gembira.
“Hai Arum, maafkan aku meninggalkanmu seharian. Aku kangen
kamu. Udah siang nih, kamu mau makan apa? Aku baru belanja makanan tadi.” Kata Lia
penuh sopan. Aku menyukai hal-hal berbau sopan. Karena sudah rindu berat
padanya, aku langsung menariknya masuk dan membantu membawa barang belanjaanya.
“Li, aku mau cerita. Semalam, aku mimpi aneh. Tolong
jelaskan apa maksud mimpi itu! Setelah itu, baru kau memasakkan makan siang
untuk kita.”
“Uuh.. oke, kamu mau cerita apa? Memangnya ada apa
sih?”
“Semalam, aku bermimpi, aku diajak makan malam sama
tetangga baru di seberang rumah. Mereka memaksaku karena tidak ada tetangga
lain yang mau datang. Karena merasa tidak enak, akhirnya aku datang. Kami mengobrol
banyak dengan tetangga baru itu. Tiba-tiba salah satu dari mereka menyodorkanku
sebotol bir. Aku sadar bahwa mereka pemabuk, aku berusaha keluar, tapi malah
tersesat di dapur, saat aku kembali mencari pintu keluar, aku mendapati mereka
sudah terbunuh. Kira-kira apa maksud mimpi itu ya? Menyeramkan sekali!”
“Iih.. kok aneh ya? Perasaanmu aja mungkin? Apa sebuah
pertanda? Saat tetangga baru terbunuh, kau sedang apa?”
“Tidak tau. Aku tiba-tiba pingsan karena merasa
jijik melihat darah.”
“Ooh.. yasudahlah, buang saja mimpi buruk itu
jauh-jauh. Aku mau memasak. Aku sudah lapar. Kau pasti juga sudah lapar kan?”
“Iya, lapar!”
Malam harinya, karena merasa penasaran dengan rumah
tersebut, aku pergi ke rumah seberang. Aku pergi diam-diam tanpa sepengetahuan
sahabatku. Sahabatku sedang tidur, jadi aku tidak mau mengganggunya. Aku memasuki
pintu ukirnya. Tidak dikunci. Memudahkanku untuk masuk ke dalam dan memeriksa
semuanya.
Saat aku masuk ke dalam rumah, aromanya busuk
sekali. Sangat busuk. Aku jijik sekali. Aku terkaget-kaget melihat mayat mereka
masih utuh di meja makan dan sedikit membusuk. Makanan diatas meja makanpun
sudah menjadi basi. Karena jijik, aku membereskan mayat mereka. Aku tidak
menyukai rumah yang berantakan. Aku membuang sisa-sisa makanan yang ada di meja
makan. Lalu mencuci piringnya di dapur. Aku memeriksa keadaan dapur apakah
baik-baik saja.
“Tinggal diserahkan ke polisi saja masalah yang aneh
ini.” Kataku kecil.
Dari dapur rumah sebelah, aku mencuri barang bagus
milik tetangga baru itu. Warnanya sangat mengilat sekali apabila terkena
cahaya. Bahkan lebih mengilat daripada punyaku. Ukurannya juga lebih besar
sedikit. Saat aku pulang aku kaget mendapati sahabatku terbangun.
“Kau dari mana saja? Aku takut sendirian tau! Laparkah
kau? Kalau lapar, akan aku masakkan mie goreng.”
“Tidak. Tidak dari mana-mana kok.”
Sahabatku kaget melihat bajuku penuh dengan bercak
darah. “Rum, itu dibajumu kok ada bercak merah? Cat? Apa darah? Kamu habis
ngapain? Kalo kamu mau masak, bangunkan saja aku.”
“Iya, gampang.” Jawabku singkat.
Sahabatku lebih kaget lagi melihat benda besar
mengilat terkena lampu yang ada di tanganku. “Haa..hah? i..itu, pisau? Buat apa?
Kita kan sudah punya pisau.”
“BUAT MEMBUNUH MEREKA!” tak sadar aku tertawa
seperti psikopat. “Mereka itu perempuan pelacur yang tidak punya sopan santun! Aku
muak dengan orang seperti mereka! Aku muak dengan hal yang membuat hatiku sedih
atau terusik! Aku muak!” kataku seperti orang kesurupan. Sambil terkekeh-kekeh.
“Baiklah, aku tidur saja. Besok aku masakkan makanan
yang spesial untukmu. Aku mengantuk.” Kata sahabatku dengan nada mengantuk yang
dibuat-buat. Aku tahu dia takut. Tapi dia berusaha menyembunyikannya. Aku tidak
akan menyakiti sahabatku. Maka aku memperbolehkannya tidur.
“Ya, tidur saja. Kau pasti lelah” seruku lembut sambil
meletakkan pisau di meja makan.
Keesokan paginya, aku mendapati sahabatku tidak ada
di kasur. Aku bingung mencarinya kemana-mana. Namun saat aku menuju meja makan,
ada banyak makanan enak disana. Aku tidak sabar untuk memakannya. Saat aku mau
mengambil piring, kulihat ada surat tergeletak diatas piring yang akan kuambil.
‘Aku pergi Arum,
dadah’
Aku menangis membaca tulisan tangan Lia. Aku sedih
sahabatku meninggalkanku. Hatiku begitu hancur. Aku bertekad menemukannya hari
ini dan memeluknya sambil membawa benda kesayanganku. Karena hatiku sedih
ditinggalkannya. Aku tidak punya teman.
-SELESAI-
urban legend by me ^^ #agakmerindingbacanyatwips