Jumat, 07 Februari 2014

urban legend - TETANGGA SEBELAH


Aku tinggal di perum Aa. Sebelumnya aku tinggal sendirian di perum Ab. Tapi, aku akhirnya pindah bersama sahabatku yang selalu bersedia menemani tidurku. Namanya Lia. Dia adalah sahabatku yang seperti ibuku sendiri. Membersihkan rumah, memasakkanku makanan, dll. Tapi sahabatku tak pernah merasa keberatan, malah selalu tersenyum saat aku bangun pagi. Dia selalu mengucapkan selamat pagi dengan tepukan di pundak. Justru dia mungkin lebih baik dari ibuku. Semenjak bercerai, orang tuaku pergi meninggalkanku dengan segepok uang. Setelah itu tidak ada kabar maupun kiriman uang lagi. Mungkin itu salah satu penyebab mengapa sahabatku begitu sayang padaku. Karena aku tidak punya teman.
Dua hari berikutnya, sahabatku izin tidak bisa menginap di rumahku karena ada acara keluarga yang sangat penting. Aku sempat memaksanya tidak perlu datang. Tapi akhirnya aku luluh juga, mengingat dia sudah sangat baik sekali kepadaku. Akhirnya aku membiarkan dia pergi dan menyuruhnya cepat kembali ke sini. Akhirnya aku yang mengurus sesuatu tentang rumah. Agak sulit memang, tapi yah, mau bagaimana lagi. Aku tidak menyukai rumah berantakan.
Siang hari saat aku sedang menyapu halaman, aku melihat ada orang pindahan. Rumahnya tepat di seberang rumahku. Aku melihat sekilas orang itu termasuk remaja sepertiku. Kalau tidak salah, ada tiga orang. Semuanya perempuan. Mungkin mereka satu kuliahan lalu menginap bersama agar menghemat uang. Aku membiarkan semuanya berlalu lalu aku pergi ke dalam. Tiduran sebentar menghilangkan rasa capek di badanku. Tiba-tiba, bel rumahku berbunyi..
Ting.. tong...
Siapa? Apa sahabatku? Tidak mungkin itu sahabatku. Sahabatku baru saja pergi dengan alasan penting. Tidak mungkin dia kembali lagi. Saat kucoba membukakan gagang pintu rumahku, aku melihat sesosok perempuan cantik dengan rambutnya yang sangat panjang menyentuh punggungnya. Dia mengenakan baju putih dan celana jeans pendek.
“Hai.. maaf mengganggumu. Aku tetangga barumu di seberang. Kurasa kau sudah tau tadi saat kau menyapu halaman rumahmu. Kalau boleh, aku ingin berteman denganmu. Bagaimana? Nanti kuajak makan malam. Kau tidak perlu memasak makan malam.”
Suaranya begitu ramah. Tapi aku sedikit canggung, aku sendiri belum mengenalnya dengan jelas. Perlu beberapa minggu untuk aku beradaptasi dengan seseorang. Termasuk berkenalan. Tiba-tiba dia menjulurkan tangannya.
“Vina Adelia. Kau bisa memanggilku Vina. Senang berkenalan denganmu.” Dia mengeluarkan suara genit khas perempuan miliknya. Dari suaranya, aku bisa menebak, dia orang yang ramah dan tidak berbahaya.
“Arum” jawabku singkat. Aku tidak ingin basa-basi. Karena aku belum tau siapa dirinya. Aku takut kalau aku dijadikan umpan.
“Senang berkenalan denganmu Arum. Malam ini kau harus datang ya! Jam 7 malam! Tak perlu memakai baju mewah. Kita hanya bersebelahan. Aku sangat senang jika kau datang. Aku permisi dulu ya. Sampai bertemu nanti malam!”
Perempuan itu langsung pamit pergi dan meninggalkan rumahku. Sangat tidak sopan. Aku tidak suka orang yang tidak sopan.
Malam jam 7, aku mengenakan baju apa adanya. Baju rumah dan celana jeans. Aku akan menghadiri rumahnya. Ingin melihat-lihat bagaimana keadaan disana. Enak atau tidak. Kemudian aku mengetuk pintu rumahnya. Pintu coklat berukir itu akhirnya terbuka.
“Hai Arum! Aku senang kau datang! Yuk kita langsung saja ke meja makan! Hanya kamu saja yang kami undang. Tetangga yang lain menolak. Masuk saja tak usah malu-malu!” aku tau kalau Vina pasti yang pertama menyambutku. Lalu aku menuju meja makan. Melihat-lihat atap rumah dan seisinya. Lumayan bagus juga. Terlintas dibenakku bahwa mereka pasti orang kaya.
Dua orang perempuan lainnya sedang tertawa keras. Satunya memegang gelas dan satunya lagi memegang botol. Bir. Itu botol bir. Baunya tercium sampai hidungku. Aku tidak menyukai orang yang tidak sopan. Aura benciku kepada mereka semakin menguat. Aku mulai ragu apakah Vina orang yang ramah atau mempunyai akal pembunuh?
Aku membuang jauh pikiran jelekku. Aku tidak mau lagi kesepian.
“Hei teman-teman! Dasar! Mabuk saja pikiran kalian! Kalian tidak sadar hah?! Kita kedatangan tamu! Sopanlah sedikit!!” bentak Vina tapi suaranya sedikit lembut.
“Oh.. maafkan kami. Kami tidak sadar jika ada kau.” Kata ke-2 orang itu pelan.
“Perkenalkan, dia Arum. Arum, mereka Kiki dan Putik.”
“Hai, senang berkenalan denganmu, Arum” kata mereka satu persatu sambil bersalaman denganku.
“Nah, mari kita makan malam!” kata Kiki dengan semangat.
Aku duduk di kursi bersebelahan dengan Vina. Kami mengobrol banyak. Hanya saja aku tidak terlalu ceria. Mungkin aku hanya tertawa sedikit saja. Hingga akhirnya, Putik menyodorkanku sebotol minuman.
“Hei Arum? Minumlah ini. Ini enak lho! Kau harus mencicipinya sedikit dulu.” Kata putik sembari menyodorkan botol bir kepadaku. Aku jijik melihatnya. Tidak betah. Aku ingin pulang, tetapi mereka seperti mengekangku. Mereka memaksaku bahwa aku harus minum bir dulu! Sudah kubilang, aku tidak suka orang yang tidak sopan! Kenapa mereka memaksaku?
“Tidak, terima kasih.” Jawabku sopan dan tegas. “Maaf, aku bukan pemabuk. Aku di didik menjadi orang yang sopan. Maaf.” Kataku sambil menyudutkan hati mereka. Tak kupedulikan wajah mereka yang hampir tidak menyukaiku karena aku sudah mengatai mereka.
“Hei Arum, mau coba? Ini tidak yang seperti kau bayangkan. Alkoholnya hanya 10%. Kami sengaja menyiapkannya untukmu. Minumlah sebagai rasa hormat dari kami karena kau sudah bersedia untuk datang makan malam.” Kata Vina menyikutku. Aku salah. Tak seharusnya aku menilai Vina itu orang yang sopan. Ternyata dia juga sama tidak sopannya dengan teman-teman.
“TIDAK! AKU TIDAK MAU! AKU AKAN PINDAH DARI PERUMAHAN INI! AKU AKAN MELAPORKAN KALIAN KE POLISI! KALIAN PEMABUK DAN PELACUR!” suaraku tercekat di tenggorokan. Aku tak terbiasa berteriak keras pada seseorang. Aku pantas membicarakan hal tersebut pada mereka. Mereka terlihat baik, tapi ternyata pemabuk. Sama saja pelacur! Aku tidak tahan dengan orang yang tidak sopan! Karena merasa keadaanku terancam, aku mencari pintu keluar tapi aku malah tersesat ke arah dapur. Kemudian aku kembali ke tempat semula untuk mencari pintu keluar, tiba-tiba aku melihat mereka sudah bersimbah darah. Darah segar masih memancar dari perut masing-masing. Aku tidak tahan, lalu akhirnya, semua menjadi gelap. Amat gelap.
Saat aku terbangun, aku kaget mendapati diriku terbaring di tempat tidur. Ini siang hari! Apakah ini mimpi? Apakah benar ada tetangga baru? Apakah benar mereka dibunuh? Dibunuh oleh siapa? Tak sadar ternyata tubuhku penuh dengan keringat dingin. Keringatku semakin mendingin kala melihat bajuku bersimbah darah. Cepat-cepat aku mencucinya lalu membakarnya. Aku memakai baju baruku dengan terburu-buru.
Ting.. tong..
Hah? Siapa itu? Apa ini time machine? Jangan-jangan itu adalah tetangga baru? Dengan segera aku membukakan pintu kayu rumahku. Terlihat sahabatku berdiri di depan pintu dengan senyum gembira.
“Hai Arum, maafkan aku meninggalkanmu seharian. Aku kangen kamu. Udah siang nih, kamu mau makan apa? Aku baru belanja makanan tadi.” Kata Lia penuh sopan. Aku menyukai hal-hal berbau sopan. Karena sudah rindu berat padanya, aku langsung menariknya masuk dan membantu membawa barang belanjaanya.
“Li, aku mau cerita. Semalam, aku mimpi aneh. Tolong jelaskan apa maksud mimpi itu! Setelah itu, baru kau memasakkan makan siang untuk kita.”
“Uuh.. oke, kamu mau cerita apa? Memangnya ada apa sih?”
“Semalam, aku bermimpi, aku diajak makan malam sama tetangga baru di seberang rumah. Mereka memaksaku karena tidak ada tetangga lain yang mau datang. Karena merasa tidak enak, akhirnya aku datang. Kami mengobrol banyak dengan tetangga baru itu. Tiba-tiba salah satu dari mereka menyodorkanku sebotol bir. Aku sadar bahwa mereka pemabuk, aku berusaha keluar, tapi malah tersesat di dapur, saat aku kembali mencari pintu keluar, aku mendapati mereka sudah terbunuh. Kira-kira apa maksud mimpi itu ya? Menyeramkan sekali!”
“Iih.. kok aneh ya? Perasaanmu aja mungkin? Apa sebuah pertanda? Saat tetangga baru terbunuh, kau sedang apa?”
“Tidak tau. Aku tiba-tiba pingsan karena merasa jijik melihat darah.”
“Ooh.. yasudahlah, buang saja mimpi buruk itu jauh-jauh. Aku mau memasak. Aku sudah lapar. Kau pasti juga sudah lapar kan?”
“Iya, lapar!”
Malam harinya, karena merasa penasaran dengan rumah tersebut, aku pergi ke rumah seberang. Aku pergi diam-diam tanpa sepengetahuan sahabatku. Sahabatku sedang tidur, jadi aku tidak mau mengganggunya. Aku memasuki pintu ukirnya. Tidak dikunci. Memudahkanku untuk masuk ke dalam dan memeriksa semuanya.
Saat aku masuk ke dalam rumah, aromanya busuk sekali. Sangat busuk. Aku jijik sekali. Aku terkaget-kaget melihat mayat mereka masih utuh di meja makan dan sedikit membusuk. Makanan diatas meja makanpun sudah menjadi basi. Karena jijik, aku membereskan mayat mereka. Aku tidak menyukai rumah yang berantakan. Aku membuang sisa-sisa makanan yang ada di meja makan. Lalu mencuci piringnya di dapur. Aku memeriksa keadaan dapur apakah baik-baik saja.
“Tinggal diserahkan ke polisi saja masalah yang aneh ini.” Kataku kecil.
Dari dapur rumah sebelah, aku mencuri barang bagus milik tetangga baru itu. Warnanya sangat mengilat sekali apabila terkena cahaya. Bahkan lebih mengilat daripada punyaku. Ukurannya juga lebih besar sedikit. Saat aku pulang aku kaget mendapati sahabatku terbangun.
“Kau dari mana saja? Aku takut sendirian tau! Laparkah kau? Kalau lapar, akan aku masakkan mie goreng.”
“Tidak. Tidak dari mana-mana kok.”
Sahabatku kaget melihat bajuku penuh dengan bercak darah. “Rum, itu dibajumu kok ada bercak merah? Cat? Apa darah? Kamu habis ngapain? Kalo kamu mau masak, bangunkan saja aku.”
“Iya, gampang.” Jawabku singkat.
Sahabatku lebih kaget lagi melihat benda besar mengilat terkena lampu yang ada di tanganku. “Haa..hah? i..itu, pisau? Buat apa? Kita kan sudah punya pisau.”
“BUAT MEMBUNUH MEREKA!” tak sadar aku tertawa seperti psikopat. “Mereka itu perempuan pelacur yang tidak punya sopan santun! Aku muak dengan orang seperti mereka! Aku muak dengan hal yang membuat hatiku sedih atau terusik! Aku muak!” kataku seperti orang kesurupan. Sambil terkekeh-kekeh.
“Baiklah, aku tidur saja. Besok aku masakkan makanan yang spesial untukmu. Aku mengantuk.” Kata sahabatku dengan nada mengantuk yang dibuat-buat. Aku tahu dia takut. Tapi dia berusaha menyembunyikannya. Aku tidak akan menyakiti sahabatku. Maka aku memperbolehkannya tidur.
“Ya, tidur saja. Kau pasti lelah” seruku lembut sambil meletakkan pisau di meja makan.
Keesokan paginya, aku mendapati sahabatku tidak ada di kasur. Aku bingung mencarinya kemana-mana. Namun saat aku menuju meja makan, ada banyak makanan enak disana. Aku tidak sabar untuk memakannya. Saat aku mau mengambil piring, kulihat ada surat tergeletak diatas piring yang akan kuambil.
‘Aku pergi Arum, dadah’
Aku menangis membaca tulisan tangan Lia. Aku sedih sahabatku meninggalkanku. Hatiku begitu hancur. Aku bertekad menemukannya hari ini dan memeluknya sambil membawa benda kesayanganku. Karena hatiku sedih ditinggalkannya. Aku tidak punya teman.


-SELESAI-

urban legend by me ^^ #agakmerindingbacanyatwips

Tidak ada komentar:

Posting Komentar